Meminjam
judul buku yang ditulis oleh Dee (Nickname Dewi Lestari), Filosofi Kopi, saya
bermaksud menceritakan pertemuan dengan Pak Achyar yang awalnya untuk membahas
tugas portofolio mengenai ekspor kopi yang beliau berikan, namun kemudian
berkembang menjadi pembicaraan filosofis. Pertemuan sore itu berlangsung di
sebuah kedai kopi di kompleks Perumahan Dosen Unhas Antang, yaitu warkop Belima.
Bersama Edib, saya datang sesuai dengan jadwal yang bapak sampaikan yaitu pukul
16.00 sore. Setiba di sana, kami tak langsung masuk ke kedai, baru setengah jam
kemudian setelah Kak Ela (Gabryela Horman Pelo) dan Fani (Zulfiani Zulhairin) tiba,
bersamaan kami ke dalam. Bapak telah di warkop itu sekitar sejam yang lalu
sebelum kami masuk. Setelah menata meja untuk kami berdiskusi, mulailah Pak
Achyar bertanya mengenai progress portofolio kami, ia minta kami menyampaikan
apa kendala yang dihadapi masing-masing kelompok. Edib yang pertama
menyampaikan persoalannya, ia menyebutkan bahwa untuk beberapa divisi terutama kantor
cabang belum merinci rencana keuangan dan juga rencana penjualannya. Berhubung
saya dari divisi kantor cabang pada saat diskusi segmen, saya menyampaikan
bahwa sebagai perusahaan yang baru berdiri, divisi kami akan memaksimalkan
pemasaran dan penjualan semua produk yang telah diproduksi. Namun Pak Achyar
menimpali bahwa sebelum produksi seharusnya sudah ada daftar pembeli yang
disiapkan sehingga bisa ditentukan berapa jumlah barang yang akan diproduksi.
Pada
tugas ini Pak Achyar menitikberatkan bahwa tugas utama kami bagaimana
mengembangkan sistem informasi dalam perusahaan dimana bingkainya adalah Teknologi
informasi yang mengintegrasikan setiap elemen dari sistem tersebut, misalnya
melalui database system. Sempat
disinggung juga mengenai teknologi cloud
computing, yaitu komputasi awan yang merupakan teknologi yang memungkinkan
data perusahaan disimpan pada suatu database yang dapat diakses oleh semua
pihak yang berkepentingan dimana pun mereka berada.
Sempat jeda saat
istirahat Shalat Maghrib.
Setelah itu, jumlah
peserta bertambah dengan kedatangan Annica dan Kak Anne yang datang bersama her boyfriend, Aris.
Bapak menyampaikan
bahwa dalam penyusunan portofolio tersebut dapat dilihat kecenderungan ego
masing-masing anggota kelompok.
Diskusi pun berlanjut
dan sekarang lebih mengarah ke hal filosofis, misalnya apa saja komponen jiwa ?
meliputi Feel, Mind, dan Will. Bapak menjelaskan mengenai
perlunya kita melakukan aktivasi jiwa untuk dapat memaksimalkan potensi yang
dimiliki.
Di lain waktu, ketika
berkunjung ke rumah Bapak untuk menyetorkan tugas portofolio, barulah saya tahu
motif utama Pak Achyar mengadakan model belajar ini. Ia ingin membuat mahasiswa
mampu melakukan aktivasi jiwa. Ia bercerita bahwa sebenarnya kita Manusia telah
menjalani di alam ruhani apa yang saat ini kita jalani di dunia (konsep ini
persis seperti yang pernah diutarakan oleh filsuf bernama Plato dan dikenal
dengan istilah idealisme Plato),
sehingga agar kita mampu memaksimalkan potensi yang kita miliki, kita harus
mampu mengaktivasi jiwa yang sebenarnya telah melalui proses yang kita hadapi
saat ini di dunia, dengan demikian saat kita dihadapkan pada hal-hal baru kita
dapat langsung menguasainya. Menurutnya, imajinasi itu tidak ada, sebagai
contoh sebelum pesawat ditemukan, orang terdahulu pernah berangan-angan
terbang. Sebenarnya, mereka tidak berangan-angan sebab mereka pernah melakukannya
di alam ruhaniah, dan di dunia ini hanya kumpulan seri kehidupan yang perlu
kita jalani kembali.
Model perkuliahan
beliau berusaha membuat bagaimana agar partisipasi mahasiswa di tiap kelompok
itu diubah menjadi experience, dan disimpan
di segenap serabut-serabut perasa yang tersebar di tubuh mahasiswa (bukan
disimpan di memory), sehingga suatu
saat ketika diperlukan dapat langsung diaktifkan.
Pertanyaannya sekarang, apa bukti bahwa kita pernah menjalaninya di alam ruhani ?
Karena Pak Achyar mendasarkannya pada keyakinan seperti yang beliau ungkapkan sendiri di warung
kopi itu, maka tidak perlu kita meminta bukti untuk hal
tersebut karena tentu saja Bapak bukan seorang Realis yang mengedepankan pembuktian dalam menguji kebenaran seperti Aristoteles,
melainkan tergolong sebagai seorang Idealis seperti Plato.
NB : Kopinya udah
dibayar belum ? just kidding :)

3 komentar:
Untungnya saya pesan sarabba, bukan kopi :D
oh sarabba ya Kak, kirain kopi :D
btw, thank you Kak Ela udah comment !
Posting Komentar