Minggu, 08 Juni 2014

Filosofi Kopi Pak Achyar



Meminjam judul buku yang ditulis oleh Dee (Nickname Dewi Lestari), Filosofi Kopi, saya bermaksud menceritakan pertemuan dengan Pak Achyar yang awalnya untuk membahas tugas portofolio mengenai ekspor kopi yang beliau berikan, namun kemudian berkembang menjadi pembicaraan filosofis. Pertemuan sore itu berlangsung di sebuah kedai kopi di kompleks Perumahan Dosen Unhas Antang, yaitu warkop Belima. Bersama Edib, saya datang sesuai dengan jadwal yang bapak sampaikan yaitu pukul 16.00 sore. Setiba di sana, kami tak langsung masuk ke kedai, baru setengah jam kemudian setelah Kak Ela (Gabryela Horman Pelo) dan Fani (Zulfiani Zulhairin) tiba, bersamaan kami ke dalam. Bapak telah di warkop itu sekitar sejam yang lalu sebelum kami masuk. Setelah menata meja untuk kami berdiskusi, mulailah Pak Achyar bertanya mengenai progress portofolio kami, ia minta kami menyampaikan apa kendala yang dihadapi masing-masing kelompok. Edib yang pertama menyampaikan persoalannya, ia menyebutkan bahwa untuk beberapa divisi terutama kantor cabang belum merinci rencana keuangan dan juga rencana penjualannya. Berhubung saya dari divisi kantor cabang pada saat diskusi segmen, saya menyampaikan bahwa sebagai perusahaan yang baru berdiri, divisi kami akan memaksimalkan pemasaran dan penjualan semua produk yang telah diproduksi. Namun Pak Achyar menimpali bahwa sebelum produksi seharusnya sudah ada daftar pembeli yang disiapkan sehingga bisa ditentukan berapa jumlah barang yang akan diproduksi. 

Pada tugas ini Pak Achyar menitikberatkan bahwa tugas utama kami bagaimana mengembangkan sistem informasi dalam perusahaan dimana bingkainya adalah Teknologi informasi yang mengintegrasikan setiap elemen dari sistem tersebut, misalnya melalui database system. Sempat disinggung juga mengenai teknologi cloud computing, yaitu komputasi awan yang merupakan teknologi yang memungkinkan data perusahaan disimpan pada suatu database yang dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan dimana pun mereka berada. 

Sempat jeda saat istirahat Shalat Maghrib. 

Setelah itu, jumlah peserta bertambah dengan kedatangan Annica dan Kak Anne yang datang bersama her boyfriend, Aris. 

Bapak menyampaikan bahwa dalam penyusunan portofolio tersebut dapat dilihat kecenderungan ego masing-masing anggota kelompok.

Diskusi pun berlanjut dan sekarang lebih mengarah ke hal filosofis, misalnya apa saja komponen jiwa ? meliputi Feel, Mind, dan Will. Bapak menjelaskan mengenai perlunya kita melakukan aktivasi jiwa untuk dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki. 

Di lain waktu, ketika berkunjung ke rumah Bapak untuk menyetorkan tugas portofolio, barulah saya tahu motif utama Pak Achyar mengadakan model belajar ini. Ia ingin membuat mahasiswa mampu melakukan aktivasi jiwa. Ia bercerita bahwa sebenarnya kita Manusia telah menjalani di alam ruhani apa yang saat ini kita jalani di dunia (konsep ini persis seperti yang pernah diutarakan oleh filsuf bernama Plato dan dikenal dengan istilah idealisme Plato), sehingga agar kita mampu memaksimalkan potensi yang kita miliki, kita harus mampu mengaktivasi jiwa yang sebenarnya telah melalui proses yang kita hadapi saat ini di dunia, dengan demikian saat kita dihadapkan pada hal-hal baru kita dapat langsung menguasainya. Menurutnya, imajinasi itu tidak ada, sebagai contoh sebelum pesawat ditemukan, orang terdahulu pernah berangan-angan terbang. Sebenarnya, mereka tidak berangan-angan sebab mereka pernah melakukannya di alam ruhaniah, dan di dunia ini hanya kumpulan seri kehidupan yang perlu kita jalani kembali. 

Model perkuliahan beliau berusaha membuat bagaimana agar partisipasi mahasiswa di tiap kelompok itu diubah menjadi experience, dan disimpan di segenap serabut-serabut perasa yang tersebar di tubuh mahasiswa (bukan disimpan di memory), sehingga suatu saat ketika diperlukan dapat langsung diaktifkan.
 
Pertanyaannya sekarang, apa bukti bahwa kita pernah menjalaninya di alam ruhani ? 
 
Karena Pak Achyar mendasarkannya pada keyakinan seperti yang beliau ungkapkan sendiri di warung kopi itu, maka tidak perlu kita meminta bukti untuk hal tersebut karena tentu saja Bapak bukan seorang Realis yang mengedepankan pembuktian dalam menguji kebenaran seperti Aristoteles, melainkan tergolong sebagai seorang Idealis seperti Plato. 

NB : Kopinya udah dibayar belum ? just kidding :)

3 komentar:

Gabryela_hope mengatakan...

Untungnya saya pesan sarabba, bukan kopi :D

Abdul Arsyad Rahman mengatakan...

oh sarabba ya Kak, kirain kopi :D
btw, thank you Kak Ela udah comment !

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar