“Bukan apa yang kita dapat, tapi akan jadi
apa kita dan apa yang dapat kita berikan kepada sesama yang akan memberi arti
dalam hidup kita” – Anthony Robbin
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak hanya
bertanggung jawab atas pribadinya, tetapi juga terhadap masyarakat di
sekitarnya. Dengan demikian, setiap profesi, baik itu seorang akuntan,
pengusaha, dan sebagainya pun wajib untuk memperhatikan kepentingan masyarakat
dalam menjalankan aktivitas profesionalnya.
Bagaimana seorang pengusaha dan seorang akuntan
dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat tersebut?
Para akuntan dan pengusaha harus peka melihat
ekspektasi masyarakat atas peran mereka sebagai seorang profesional.
Masyarakat merupakan kumpulan individu, sehingga
pertama-tama mari kita bertanya terlebih dahulu pada pribadi kita, apa yang
kita harapkan dari aktivitas bisnis yang tengah berlangsung di sekitar kita ?
Kita tentu ingin bisnis yang bertanggungjawab baik
terhadap lingkungan hidup maupun sosial di tempat mereka beroperasi. Karena
perusahaan yang tidak bertanggungjawab dapat mengganggu keseimbangan alam, dan
mengganggu tatanan nilai sosial di sekitarnya. Sebagai contoh yaitu kebakaran
hutan di Provinsi Riau, Sumatera yang diduga dampak aksi perusahaan tidak
bertanggungjawab yang membakar lahan untuk mempercepat proses menanam, yang
mana berdasar analisis peta dan titik hotspot
(titik api) Satuan Tugas REDD+,
titik-titik api di Riau di antaranya berasal dari kawasan konsesi Riau
Andalan Pulp and Paper (RAPP)/APRIL dan perusahaan APP/ Sinar Mas. Kedua
perusahaan tersebut berpusat di Singapura. Kasus tersebut menunjukkan bahwa demi
mengejar keuntungan, kelestarian lingkungan hidup dikorbankan. Hal semacam ini
seharusnya tidak perlu terjadi jika saja setiap perusahaan konsisten
menjalankan etika bisnis. Paling tidak ada 3 motif yang mendasari sebuah
perusahaan untuk menjalankan etika bisnis. Salah satunya yaitu motif laba.
Beberapa pengusaha berpendapat bahwa adakah hubungan antara bisnis dan etika ?
Dalam pasar yang kompetitif dan bebas, motif laba
justru akan membawa lingkungan moral yang tepat. Artinya, jika perusahaan
memenuhi ekspektasi masyaraka atau pelanggan atas produk yang aman, atau menjaga
privasi karyawannya, maka mereka akan membeli atau bekerja untuk perusahaan
yang memenuhi tuntutan mereka. Bisnis yang mengabaikan tuntutan ini tidak akan
bertahan karena drive untuk
keuntungan akan menciptakan moralitas.
Sementara itu, para akuntan wajib menyusun dan
melaporkan kondisi keuangan dan aktivitas operasi perusahaan yang sebenarnya terjadi
sehingga para stakeholders termasuk
masyarakat dapat memantau kinerja perusahaan tersebut. Hal ini merupakan
kebutuhan masyarakat akan akuntabilitas dan transparansi baik di sektor
pemerintahan yang merupakan pengelola keuangan publik maupun di sektor private
yang aktivitas bisnisnya dekat dengan lingkungan masyarakat.
Kasus Enron dan Worldcom di bawah ini dapat menjadi
contoh dari kegagalan perusahaan dalam memenuhi ekspektasi masyarakat yang berujung
pada kolaps-nya kedua perusahaan tersebut.
Enron (2001)
Enron merupakan perusahaan fenomenal di Amerika
Serikat. Dari perusahaan lokal, mereka menyulap dirinya menjadi perusahaan
terbuka dan multinasional dalam waktu dekat. Akan tetapi pertumbuhan Enron yang
luar biasa bukan berasal dari laba yang dihasilkan, tetapi dari ilusi dan
penggembungan pendapatan. Enron mengalami kebangkrutan besar ketika investor
mulai mencium metode off balance sheet yang
dilakukannya dan special purpose entity (hubungan
istimewa pihak ketiga) yang digunakan sebagai media penyembunyian kerugian
jutaan dolar. Enron menggunakan creative
accounting di mana kerugian di laporan laba rugi dipindahkan secara
substansial menjadi aset di neraca (balance
sheet). Selain itu, pendapatan yang belum diterima karena sistem kontrak
10-20 tahun diakui sebagai pendapatan periode laporan keuangan masa sekarang,
yang seharusnya diakui secara periode dalam 10-20 tahun ke depan. Kasus ini
tidak hanya mengakibatkan kebangkrutan Enron dalam sehari, tetapi juga menyeret
Arthur Andersen, KAP nomor 1 di dunia pada masa itu. Peristiwa ini mencetuskan
lahirnya Undang-Undang Sarbanes Oxley Act (Sox) di tahun 2002, yang akan
dibahas minggu depan di kelas Pak Deng Siraja ini oleh kelompok 4.
Worldcom
Caranya?
Saat itu, meskipun traffic di Internet menurun, Worldcom memublikasikan info ke pasar
modal bahwa traffic mereka naik dua
kali lipat. Hal ini jelas merupakan manipulasi informasi kepada publik. Dengan
motivasi menjaga nilai sahamnya, Worldcom lakukan hal itu. Ditambah lagi,
direksi mendapatkan bonus berupa opsi saham.
Untuk menjaga posisi keuangan
terlihat baik di mata investor, Worldcom juga intens melakukan akuisisi dan
merger. Proses merger dan akuisisi itu menggunakan ekuitas atau penerbitan
saham. Hal ini mereka lakukan agar posisi kewajiban relatif lebih kecil dari
ekuitas sehingga debt to equity ratio-nya
mengecil. Hal ini juga memperbaiki posisi mereka di mata kreditor. Salah satu
perjanjian utang dengan kreditor adalah menjaga rasio keuangan tertentu agar
perjanjian kredit tidak batal. Maka, untuk menghindari pembatalan ini Worldcom
memiliki motivasi untuk memperbaiki rasio keuangannya.
Aspek konflik kepentingan lainnya
juga terjadi di kasus Worldcom ini. Divisi keuangan perusahaan dari Solomon
Smith Barney (SSB) memiliki penagihan terhadap Worldcom dari jasa merger dan
akuisisi. Konfik kepentingannya adalah analis SSB membuat rekomendasi beli
dengan target harga $125 ketika harga saham itu jatuh di harga $75.
Selain itu, secara akuntansi,
Worldcom juga melakukan pencatatan nilai penjualan lebih besar dari nilai
sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan laba operasi dan turnover penjualan. Worldcom membuat
invoice lebih besar dari yang sebenarnya. Ketika pelanggan mereka protes dan
melaporkan kesalahan pencatatan itu, Worldcom tidak menghapus penjualannya,
melainkan mengakui sebagai biaya lain-lain yang masuk ke dalam kegiatan
nonoperasional. Hasilnya jelas, nilai penjualan, gross profit, dan laba operasi menjadi lebih besar.
Metode akuntansi lain yang Worldcom
gunakan adalah mengapitalisasi pengeluaran yang seharusnya menjadi beban,
tetapi diakui sebagai aset. Worldcom mengapitalisasi penurunan nilai jaringan
menjadi bagian dari aset (construction in
progress), Efeknya, aset naik, laba naik, nilai buku perusahaan naik, dan
rasio utang dibandingkan aset menjadi lebih kecil. Berdasarkan kasus Worldcom,
dapat dilihat bahwa indikator analisis fundamental perusahaan meningkat. Jika
analis atau investor menggunakan analisis tersebut, pastilah nilai wajar
perusahaan menjadi lebih tinggi daripada nilai yang sebenarnya.

0 komentar:
Posting Komentar