Selasa, 03 Juni 2014

Akuntan dan Perusahaan "Etis" - Ekspektasi atau Kewajiban Moral ?



Bukan apa yang kita dapat, tapi akan jadi apa kita dan apa yang dapat kita berikan kepada sesama yang akan memberi arti dalam hidup kita” – Anthony Robbin

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas pribadinya, tetapi juga terhadap masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, setiap profesi, baik itu seorang akuntan, pengusaha, dan sebagainya pun wajib untuk memperhatikan kepentingan masyarakat dalam menjalankan aktivitas profesionalnya. 

Bagaimana seorang pengusaha dan seorang akuntan dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat tersebut?

Para akuntan dan pengusaha harus peka melihat ekspektasi masyarakat atas peran mereka sebagai seorang profesional. 

Masyarakat merupakan kumpulan individu, sehingga pertama-tama mari kita bertanya terlebih dahulu pada pribadi kita, apa yang kita harapkan dari aktivitas bisnis yang tengah berlangsung di sekitar kita ?

Kita tentu ingin bisnis yang bertanggungjawab baik terhadap lingkungan hidup maupun sosial di tempat mereka beroperasi. Karena perusahaan yang tidak bertanggungjawab dapat mengganggu keseimbangan alam, dan mengganggu tatanan nilai sosial di sekitarnya. Sebagai contoh yaitu kebakaran hutan di Provinsi Riau, Sumatera yang diduga dampak aksi perusahaan tidak bertanggungjawab yang membakar lahan untuk mempercepat proses menanam, yang mana berdasar analisis peta dan titik hotspot (titik api) Satuan Tugas REDD+,  titik-titik api di Riau di antaranya berasal dari kawasan konsesi Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)/APRIL dan perusahaan APP/ Sinar Mas. Kedua perusahaan tersebut berpusat di Singapura. Kasus tersebut menunjukkan bahwa demi mengejar keuntungan, kelestarian lingkungan hidup dikorbankan. Hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi jika saja setiap perusahaan konsisten menjalankan etika bisnis. Paling tidak ada 3 motif yang mendasari sebuah perusahaan untuk menjalankan etika bisnis. Salah satunya yaitu motif laba. Beberapa pengusaha berpendapat bahwa adakah hubungan antara bisnis dan etika ?

Dalam pasar yang kompetitif dan bebas, motif laba justru akan membawa lingkungan moral yang tepat. Artinya, jika perusahaan memenuhi ekspektasi masyaraka atau pelanggan atas produk yang aman, atau menjaga privasi karyawannya, maka mereka akan membeli atau bekerja untuk perusahaan yang memenuhi tuntutan mereka. Bisnis yang mengabaikan tuntutan ini tidak akan bertahan karena drive untuk keuntungan akan menciptakan moralitas. 

Sementara itu, para akuntan wajib menyusun dan melaporkan kondisi keuangan dan aktivitas operasi perusahaan yang sebenarnya terjadi sehingga para stakeholders termasuk masyarakat dapat memantau kinerja perusahaan tersebut. Hal ini merupakan kebutuhan masyarakat akan akuntabilitas dan transparansi baik di sektor pemerintahan yang merupakan pengelola keuangan publik maupun di sektor private yang aktivitas bisnisnya dekat dengan lingkungan masyarakat. 

Kasus Enron dan Worldcom di bawah ini dapat menjadi contoh dari kegagalan perusahaan dalam memenuhi ekspektasi masyarakat yang berujung pada kolaps-nya kedua perusahaan tersebut.

Enron (2001)

Enron merupakan perusahaan fenomenal di Amerika Serikat. Dari perusahaan lokal, mereka menyulap dirinya menjadi perusahaan terbuka dan multinasional dalam waktu dekat. Akan tetapi pertumbuhan Enron yang luar biasa bukan berasal dari laba yang dihasilkan, tetapi dari ilusi dan penggembungan pendapatan. Enron mengalami kebangkrutan besar ketika investor mulai mencium metode off balance sheet yang dilakukannya dan special purpose entity (hubungan istimewa pihak ketiga) yang digunakan sebagai media penyembunyian kerugian jutaan dolar. Enron menggunakan creative accounting di mana kerugian di laporan laba rugi dipindahkan secara substansial menjadi aset di neraca (balance sheet). Selain itu, pendapatan yang belum diterima karena sistem kontrak 10-20 tahun diakui sebagai pendapatan periode laporan keuangan masa sekarang, yang seharusnya diakui secara periode dalam 10-20 tahun ke depan. Kasus ini tidak hanya mengakibatkan kebangkrutan Enron dalam sehari, tetapi juga menyeret Arthur Andersen, KAP nomor 1 di dunia pada masa itu. Peristiwa ini mencetuskan lahirnya Undang-Undang Sarbanes Oxley Act (Sox) di tahun 2002, yang akan dibahas minggu depan di kelas Pak Deng Siraja ini oleh kelompok 4.

Worldcom

Worldcom didirikan pada tahun 1983 dengan nama Long Distance Discount Services (LDDS) dengan bidang usaha penyediaan jasa telekomunikasi jarak jauh. Pada 1995, LDDS mengubah namanya menjadi Worldcom. Sebagai perusahaan publik yang menjadi sorotan investor saham, Worldcom sangat berkepentingan menjaga nilai EPS (Earning Per Share) mereka agar setidaknya sama dengan estimasi analis. Jika kurang dari nilai estimasi analis, investor akan bereaksi negatif terhadap informasi itu. Setiap kali Worldcom tidak mampu memenuhi estimasi analis, mereka mencari cara untuk menjaga agar pertumbuhan perusahaan terlihat baik. 
 
Caranya? 

Saat itu, meskipun traffic di Internet menurun, Worldcom memublikasikan info ke pasar modal bahwa traffic mereka naik dua kali lipat. Hal ini jelas merupakan manipulasi informasi kepada publik. Dengan motivasi menjaga nilai sahamnya, Worldcom lakukan hal itu. Ditambah lagi, direksi mendapatkan bonus berupa opsi saham. 

Untuk menjaga posisi keuangan terlihat baik di mata investor, Worldcom juga intens melakukan akuisisi dan merger. Proses merger dan akuisisi itu menggunakan ekuitas atau penerbitan saham. Hal ini mereka lakukan agar posisi kewajiban relatif lebih kecil dari ekuitas sehingga debt to equity ratio-nya mengecil. Hal ini juga memperbaiki posisi mereka di mata kreditor. Salah satu perjanjian utang dengan kreditor adalah menjaga rasio keuangan tertentu agar perjanjian kredit tidak batal. Maka, untuk menghindari pembatalan ini Worldcom memiliki motivasi untuk memperbaiki rasio keuangannya.

 Aspek konflik kepentingan lainnya juga terjadi di kasus Worldcom ini. Divisi keuangan perusahaan dari Solomon Smith Barney (SSB) memiliki penagihan terhadap Worldcom dari jasa merger dan akuisisi. Konfik kepentingannya adalah analis SSB membuat rekomendasi beli dengan target harga $125 ketika harga saham itu jatuh di harga $75.

Selain itu, secara akuntansi, Worldcom juga melakukan pencatatan nilai penjualan lebih besar dari nilai sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan laba operasi dan turnover penjualan. Worldcom membuat invoice lebih besar dari yang sebenarnya. Ketika pelanggan mereka protes dan melaporkan kesalahan pencatatan itu, Worldcom tidak menghapus penjualannya, melainkan mengakui sebagai biaya lain-lain yang masuk ke dalam kegiatan nonoperasional. Hasilnya jelas, nilai penjualan, gross profit, dan laba operasi menjadi lebih besar.

Metode akuntansi lain yang Worldcom gunakan adalah mengapitalisasi pengeluaran yang seharusnya menjadi beban, tetapi diakui sebagai aset. Worldcom mengapitalisasi penurunan nilai jaringan menjadi bagian dari aset (construction in progress), Efeknya, aset naik, laba naik, nilai buku perusahaan naik, dan rasio utang dibandingkan aset menjadi lebih kecil. Berdasarkan kasus Worldcom, dapat dilihat bahwa indikator analisis fundamental perusahaan meningkat. Jika analis atau investor menggunakan analisis tersebut, pastilah nilai wajar perusahaan menjadi lebih tinggi daripada nilai yang sebenarnya.

0 komentar:

Posting Komentar