Minggu, 15 Juni 2014

Trilogi Auditing Pak Abdul Latif - Sebuah Ulasan



Tulisan kali ini bermaksud untuk mengulas tiga pertemuan dari mata kuliah Auditing yang telah lalu. Pak Latif sebelumnya telah mengajar kami, Mahasiswa kelas A, pada saat matrikulasi di kelas Akuntansi keuangan.

Pada minggu pertama, Bapak hanya menyampaikan mekanisme perkuliahan dan menugaskan untuk membagi kelompok di mana setiap kelompok bertanggungjawab untuk membawakan materi yang termuat di GBRP.  Setelah itu, perkuliahan ditutup oleh Bapak, dan masih terdapat rentang waktu empat jam sebelum mata kuliah selanjutnya, Pasar Modal dimulai.

Memanfaatkan waktu luang tersebut, beberapa teman sebut saja Akmam, Pak Subagio, dan Wahid nonton bersama sebuah film yang menceritakan upaya sekelompok narapidana untuk membebaskan diri dari sebuah kapal yang menawan mereka. 

Sementara itu, di sudut belakang ruang kelas, nampak beberapa teman mahasiswa, yaitu Kak Yusuf, Edib, Kak Ela, dan Annica, tengah asyik membahas berbagai topik, mulai dari film, sharing pengalaman, dan sebagainya.

Ada juga yang dengan serius menatap layar monitor di hadapannya seperti Dhea dan Bu Irna, seolah sedang memonitoring pergerakan harga saham, atau mungkin sedang mengerjakan tugas.

Sementara saya ? Ya, mengamati mereka

Pada minggu kedua pembahasan dimulai dari materi tanggung jawab akuntan publik, kemudian dilanjutkan dengan materi perencanaan audit. 

Di dalam materi tanggung jawab akuntan publik, terdapat sub pokok bahasan mengenai UU Pasar modal, sehingga pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan seperti dari Dhea bahwa bagaimana menilai aman atau tidaknya suatu investasi ?

Pak Latif menjelaskan bahwa meskipun di Bursa saham, setiap emiten diwajibkan menunjukkan laporan keuangannya yang telah diaudit, namun pada kenyataannya laporan keuangan tersebut tidak menjadi rujukan para investor domestik dalam pengambilan keputuan investasinya. Para investor tersebut menurut beliau banyak yang sekedar ikut-ikutan, memilih berinvestasi pada emiten yang ramai dibeli sahamnya. 

Pertanyaan yang juga muncul apakah auditor di bawah naungan sebuah KAP yang telah mengaudit sebuah perusahaan selama lima tahun (hubungan audit antara KAP dan klien maksimal hanya 5 tahun, setelah itu diganti oleh KAP yang lain), masih dapat mengaudit perusahaan yang sama apabila ia pindah KAP ?

Karena yang diatur hubungan antara KAP dengan klien yang hanya boleh 5 tahun, bukannya hubungan antara auditor itu sendiri dengan klien yang diaudit, sehingga dengan pindah KAP terbuka kemungkinan ia akan mengaudit perusahaan yang sebelumnya telah ia audit apabila KAP yang baru ia tempati menjalin kontrak yang baru dengan perusahaan tersebut untuk diaudit. 

Sabtu kemarin yang merupakan pertemuan ketiga dan kembali disajikan dua materi mengenai pemahaman mengenai entitas dan lingkungannya serta hakekat pengendalian internal. 

Edib sempat menanyakan mengenai temuan dalam audit terkait barang produksi yang dalam prosesnya menggunakan barang yang dilarang oleh pemerintah ? bagaimana menanganinya ?

Bapak menjelaskan bahwa itu bukan kewenangan auditor melainkan tugas otoritas yang berwajib seperti kepolisian karena terkait persoalan hukum, jadi menurut Bapak jangan membuat profesi baru yang tidak ada.

Untuk menindak perusahaan yang melanggar peraturan pemerintah memang menjadi wewenang pihak kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya, namun dalam hal audit untuk menemukan pelanggaran tersebut, menjadi salah satu tugas auditor internal dalam menjalankan audit kepatuhan (complience audit). Sistem pada perusahaan yang menjadi objek audit dibedakan atas beberapa kelompok, di mana salah satunya adalah policy system yang merupakan perangkat regulasi, kebijakan, serta kode etik, baik yang dikeluarkan oleh regulator eksternal (perundangan/ peraturan pemerintah pusat maupun daerah, asosiasi industri, dan lain sebagainya), maupun yang berlaku di internal perusahaan yang dikeluarkan oleh RUPS, direksi, holding company, komite kerja, departemen teknis terkait, peraturan perusahaan, atau kesepakatan tertulis di internal tim. Jadi, internal audit juga bertugas memeriksa kepatuhan perusahaan dalam menjalankan peraturan pemerintah, seperti penerapan SNI (standar nasional indonesia) atas barang yang diproduksi. 

Kak Yusuf menanyakan sejauh mana keterangan dari auditor terdahulu dapat dipercaya, perlukah dibuktikan informasi yang diberikannya tersebut, karena jangan sampai terdapat patgulipat antara auditor terdahulu dengan klien ?

Juga dipertanyakan antara fungsi auditor eksternal dan auditor internal yang hampir sama, sehingga keberadaan auditor internal hanya memakan biaya ?

Sesama satu profesi, yaitu sebagai auditor seharusnya bisa saling mempercayai mengingat terdapat kode etik yang mengikat seluruh aktivitas profesional auditor. Adapun komunikasi dengan auditor terdahulu salah satunya bertujuan untuk menggali informasi mengenai integritas pihak manajemen perusahaan. Mengenai kebenaran informasi yang diterima, kiranya perlu disandingkan dengan bukti-bukti yang diperoleh misalnya saat berkunjung ke fasilitas yang dimiliki oleh klien. Sebagai contoh, auditor terdahulu mungkin karena adanya kepentingan tertentu menyampaikan bahwa klien ini berintegritas, namun saat hendak dilakukan kunjungan ke pabrik klien, ternyata pihak manajemen seolah menghalang-halangi. Hal ini kan kontras. 

Bukankah durian yang disembunyikan sebaik apapun, baunya akan tercium juga ?

Lagipula, seseorang pun dapat dinilai dari gesture-nya saat berhadapan dengan kita. Misalnya, seseorang yang berbicara sambil melirik ke atas berarti ia tengah berusaha mengingat hal yang ingin ia sampaikan, sementara orang yang berbicara sementara matanya melirik-lirik ke arah kanan, berarti ada indikasi ia berbohong. 

Kemudian, terkait keberadaan auditor internal dalam perusahaan, ada pendapat yang menyatakan bahwa, “tidak ada tidak apa, kalau ada tentu lebih baik”. Pengawasan cukup diperankan oleh auditor eksternal yang dianggap lebih independen dan profesional.

Pertanyaannya, seberapa jauh auditor eksternal bersedia dan mampu menelusuri berbagai detail root business problem di bawah permukaan angka-angka laporan keuangan ?

Kalaupun internal audit harus ada, itupun cukup small team saja dalam sebuah perusahaan. Dari perspektif core business, fungsi internal audit boleh dianggap sebagai supporting belaka. Bahkan di industri perbankan yang akrab dengan aktivitas risk management, beberapa bank di Indonesia meng-outsourced-kan tim pelaksana auditnya.

Akan tetapi, mengingat pentingnya peran pengawasan yang independen di antara strategic level dan execution level dalam perusahaan, maka internal Audit menjadi satu-satunya unit kerja yang paling tepat melakoninya. Oleh sebab itu, peran internal audit selama ini yang selalu berkutat dengan urusan physical control harus sudah bergeser dari sekedar terkesan sebagai ‘polisi perusahaan’, menjadi unit yang mampu berperan selaku internal business observer yang independen di sekitar strategi dan eksekusi bisnis.

 Sebagai penutup, Nina Dorata, CPA mengatakan bahwa, 

Without a strong system of internal accounting controls, you cannot rely on the detection of impropriety. Internal controls do matter.


Sekian dulu, terima kasih kunjungannya !

0 komentar:

Posting Komentar