Tulisan kali ini
bermaksud untuk mengulas tiga pertemuan dari mata kuliah Auditing yang telah lalu. Pak Latif sebelumnya telah mengajar kami, Mahasiswa kelas A, pada saat
matrikulasi di kelas Akuntansi keuangan.
Pada minggu pertama,
Bapak hanya menyampaikan mekanisme perkuliahan dan menugaskan untuk membagi
kelompok di mana setiap kelompok bertanggungjawab untuk membawakan materi yang
termuat di GBRP. Setelah itu,
perkuliahan ditutup oleh Bapak, dan masih terdapat rentang waktu empat jam
sebelum mata kuliah selanjutnya, Pasar Modal dimulai.
Memanfaatkan waktu luang
tersebut, beberapa teman sebut saja Akmam, Pak Subagio, dan Wahid nonton
bersama sebuah film yang menceritakan upaya sekelompok narapidana untuk
membebaskan diri dari sebuah kapal yang menawan mereka.
Sementara itu, di sudut
belakang ruang kelas, nampak beberapa teman mahasiswa, yaitu Kak Yusuf, Edib, Kak Ela, dan Annica, tengah asyik membahas
berbagai topik, mulai dari film, sharing pengalaman,
dan sebagainya.
Ada juga yang dengan serius
menatap layar monitor di hadapannya seperti Dhea dan Bu Irna, seolah sedang
memonitoring pergerakan harga saham, atau mungkin sedang mengerjakan tugas.
Sementara saya ? Ya,
mengamati mereka
Pada minggu kedua
pembahasan dimulai dari materi tanggung jawab akuntan publik, kemudian
dilanjutkan dengan materi perencanaan audit.
Di dalam materi
tanggung jawab akuntan publik, terdapat sub pokok bahasan mengenai UU Pasar
modal, sehingga pada sesi tanya jawab muncul pertanyaan seperti dari Dhea bahwa
bagaimana menilai aman atau tidaknya suatu investasi ?
Pak Latif menjelaskan
bahwa meskipun di Bursa saham, setiap emiten diwajibkan menunjukkan laporan
keuangannya yang telah diaudit, namun pada kenyataannya laporan keuangan
tersebut tidak menjadi rujukan para investor domestik dalam pengambilan
keputuan investasinya. Para investor tersebut menurut beliau banyak yang sekedar
ikut-ikutan, memilih berinvestasi pada emiten yang ramai dibeli sahamnya.
Pertanyaan yang juga
muncul apakah auditor di bawah naungan sebuah KAP yang telah mengaudit sebuah
perusahaan selama lima tahun (hubungan audit antara KAP dan klien maksimal hanya
5 tahun, setelah itu diganti oleh KAP yang lain), masih dapat mengaudit
perusahaan yang sama apabila ia pindah KAP ?
Karena yang diatur
hubungan antara KAP dengan klien yang hanya boleh 5 tahun, bukannya hubungan antara
auditor itu sendiri dengan klien yang diaudit, sehingga dengan pindah KAP
terbuka kemungkinan ia akan mengaudit perusahaan yang sebelumnya telah ia audit
apabila KAP yang baru ia tempati menjalin kontrak yang baru dengan perusahaan
tersebut untuk diaudit.
Sabtu kemarin yang
merupakan pertemuan ketiga dan kembali disajikan dua materi mengenai pemahaman
mengenai entitas dan lingkungannya serta hakekat pengendalian internal.
Edib sempat
menanyakan mengenai temuan dalam audit terkait barang produksi yang dalam
prosesnya menggunakan barang yang dilarang oleh pemerintah ? bagaimana
menanganinya ?
Bapak menjelaskan bahwa
itu bukan kewenangan auditor melainkan tugas otoritas yang berwajib seperti
kepolisian karena terkait persoalan hukum, jadi menurut Bapak jangan membuat
profesi baru yang tidak ada.
Untuk menindak
perusahaan yang melanggar peraturan pemerintah memang menjadi wewenang pihak
kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya, namun dalam hal audit untuk
menemukan pelanggaran tersebut, menjadi salah satu tugas auditor internal dalam
menjalankan audit kepatuhan (complience
audit). Sistem pada perusahaan yang menjadi objek audit dibedakan atas
beberapa kelompok, di mana salah satunya adalah policy system yang merupakan perangkat regulasi, kebijakan, serta
kode etik, baik yang dikeluarkan oleh regulator eksternal (perundangan/
peraturan pemerintah pusat maupun daerah, asosiasi industri, dan lain
sebagainya), maupun yang berlaku di internal perusahaan yang dikeluarkan oleh
RUPS, direksi, holding company,
komite kerja, departemen teknis terkait, peraturan perusahaan, atau kesepakatan
tertulis di internal tim. Jadi, internal
audit juga bertugas memeriksa kepatuhan perusahaan dalam menjalankan
peraturan pemerintah, seperti penerapan SNI (standar nasional indonesia) atas
barang yang diproduksi.
Kak Yusuf menanyakan
sejauh mana keterangan dari auditor terdahulu dapat dipercaya, perlukah
dibuktikan informasi yang diberikannya tersebut, karena jangan sampai terdapat patgulipat antara auditor terdahulu
dengan klien ?
Juga dipertanyakan
antara fungsi auditor eksternal dan auditor internal yang hampir sama, sehingga
keberadaan auditor internal hanya memakan biaya ?
Sesama satu profesi,
yaitu sebagai auditor seharusnya bisa saling mempercayai mengingat terdapat
kode etik yang mengikat seluruh aktivitas profesional auditor. Adapun
komunikasi dengan auditor terdahulu salah satunya bertujuan untuk menggali
informasi mengenai integritas pihak manajemen perusahaan. Mengenai kebenaran
informasi yang diterima, kiranya perlu disandingkan dengan bukti-bukti yang
diperoleh misalnya saat berkunjung ke fasilitas yang dimiliki oleh klien.
Sebagai contoh, auditor terdahulu mungkin karena adanya kepentingan tertentu
menyampaikan bahwa klien ini berintegritas, namun saat hendak dilakukan
kunjungan ke pabrik klien, ternyata pihak manajemen seolah menghalang-halangi.
Hal ini kan kontras.
Bukankah durian yang
disembunyikan sebaik apapun, baunya akan tercium juga ?
Lagipula, seseorang pun
dapat dinilai dari gesture-nya saat
berhadapan dengan kita. Misalnya, seseorang yang berbicara sambil melirik ke
atas berarti ia tengah berusaha mengingat hal yang ingin ia sampaikan,
sementara orang yang berbicara sementara matanya melirik-lirik ke arah kanan,
berarti ada indikasi ia berbohong.
Kemudian, terkait
keberadaan auditor internal dalam perusahaan, ada pendapat yang menyatakan
bahwa, “tidak ada tidak apa, kalau ada tentu lebih baik”. Pengawasan cukup
diperankan oleh auditor eksternal yang dianggap lebih independen dan
profesional.
Pertanyaannya, seberapa
jauh auditor eksternal bersedia dan mampu menelusuri berbagai detail root business problem di bawah permukaan
angka-angka laporan keuangan ?
Kalaupun internal audit harus ada, itupun cukup small team saja dalam sebuah perusahaan.
Dari perspektif core business, fungsi
internal audit boleh dianggap sebagai supporting
belaka. Bahkan di industri perbankan yang akrab dengan aktivitas risk management, beberapa bank di
Indonesia meng-outsourced-kan tim
pelaksana auditnya.
Akan tetapi, mengingat
pentingnya peran pengawasan yang independen di antara strategic level dan execution
level dalam perusahaan, maka internal Audit menjadi satu-satunya unit kerja
yang paling tepat melakoninya. Oleh sebab itu, peran internal audit selama ini
yang selalu berkutat dengan urusan physical
control harus sudah bergeser dari sekedar terkesan sebagai ‘polisi
perusahaan’, menjadi unit yang mampu berperan selaku internal business observer yang independen di sekitar strategi dan
eksekusi bisnis.
Sebagai penutup, Nina Dorata, CPA mengatakan bahwa,
Without a strong system of internal accounting controls, you cannot rely on the detection of impropriety. Internal controls do matter.
Sekian dulu, terima
kasih kunjungannya !