Jumat, 04 Juli 2014
Corporate social responsibility
merupakan tanggung jawab perusahaan baik terhadap lingkungan maupun masyarakat
di mana aktivitas operasionalnya berlangsung. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam sesi diskusi yaitu;
1. Tujuan
perusahaan didirikan adalah untuk memperoleh keuntungan, dengan melakukan CSR,
apakah tujuan itu dapat terpenuhi, bukankah pengeluaran perusahaan bertambah
sehingga mengurangi laba ?
Di samping sebagai
sebuah kewajiban moral, CSR menjadi kebutuhan bagi perusahaan demi kelangsungan
usahanya (sustainability). Untuk
melaksanakan CSR, perusahaan memang perlu mengeluarkan sejumlah dana, namun
dengan menjalankan hal tersebut, aktivitas penjualan perusahaan dapat berjalan
lancar, sehingga mampu meningkatkan jumlah pendapatan.
Sebagai contoh,
kesadaran lingkungan masyarakat eropa membuat black campaign atas produk crude
palm oil atau minyak kelapa sawit yang diimpor dari Indonesia yang dinilai
tidak ramah lingkungan menjadi perhatian utama di sana. Isu-isu seperti
berkurangnya luas lahan hutan akibat pembukaan lahan, hilangnya habitat satwa,
hingga penyebab konflik sosial menjadi isi pokok dari kampanye tersebut. Kampanye
ini intinya menyatakan bahwa proses produksi CPO di Indonesia tidak
memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan lingkungan sosial atau dengan
kata lain tidak menjalankan program CSR.
Akibatnya,
Uni Eropa mulai memperketat impor CPO atau minyak kelapa sawit beserta produk
turunannya. Hal ini tentunya berdampak pada menurunnya volume penjualan CPO
yang diproduksi oleh perusahaan di Indonesia, mengingat Eropa menjadi salah
satu tujuan ekspor terbesar CPO Indonesia. Pada tahun 2013, total ekspor CPO ke
Eropa mencapai 4,1 juta ton, di mana
jumlah tersebut merupakan 1/5 dari total ekspor CPO Indonesia di 2013 yang
mencapai 21,2 juta ton. Hal ini tentunya menjadi alarm baik bagi pemerintah
untuk lebih memperketat regulasi dan pengawasan mengenai kewajiban menjalankan
CSR terutama bagi perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, serta bagi
kalangan pengusaha untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam
aktivitas usahanya.
2. Bagaimana
CSR dilihat sebagai kewajiban atau sebagai bentuk kesadaran sosial ?
Corporate social
responsibility sering dianggap sebagai inti dari etika
bisnis, yang mana terdapat 3 motif dalam menjalankan etika dalam bisnis, yaitu;
a. Motif
laba
Dalam pasar yang
kompetitif dan bebas, motif laba justru akan membawa lingkungan moral yang
tepat. Hal ini berarti untuk mendapatkan laba, perusahaan dengan sendirinya
perlu menjalankan prinsip etis dalam aktivitas operasionalnya.
b. Motif
hukum
Pendekatan ini
menjelaskan bahwa pelaku bisnis melakukan etika bisnis karena diminta oleh
hukum. Sebagai contoh adanya UU Lingkungan Hidup, perusahaan harus mengelola
limbah yang dihasilkan dari aktivitas produksi dengan baik agar dampak
pencemaran lingkungan dapat diminimalkan. Meskipun Indonesia telah diklaim
sebagai negara pertama yang mewajibkan pelaksanaan program CSR bagi perusahaan
yang beroperasi di negara ini, namun kenyataannya masih banyak perusahaan yang
mengesampingkan hal tersebut atau tidak menjalankan aturan tersebut.
Sebagai contoh, kita
dapat melihat bagaimana aktivitas kawasan industri tekstil yang berada di hulu
sungai citarum, yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa
Barat, membuat sungai tersebut tercemar hingga menjadi salah satu sungai paling
terpolusi di dunia menurut lembaga Blacksmith
Institute, yang berbasis di New York.
Hal yang serupa
terlihat di lingkungan bisnis sektor pertambangan, seperti di daerah Bengalon,
Kalimantan Selatan, di mana sungai yang menjadi sumber air untuk aktivitas
masyarakat menjadi tercemar oleh limbah hasil olah tambang, membuat air sungai
menjadi berwarna cokelat. Masyarakat perlu menyaring terlebih dahulu air tersebut
sebelum digunakan baik untuk konsumsi, mandi, dan sebagainya. Pengolahan limbah
hasil industri yang tidak baik membuat lingkungan di sekitarnya, baik sungai,
tanah, maupun udara menjadi tercemar dan mengancam kesehatan masyarakat di
sekitarnya. Hal ini seolah luput dari perhatian pengusaha tambang tersebut.
Demikian halnya yang
pernah terjadi di daerah Tegal, Jawa Tengah yang terkenal sebagai pusat
kerajinan dari besi. Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH),
terdapat dugaan pencemaran timah hitam dari logam-logam bekas yang masuk ke
Tegal. Diduga ada logam-logam bekas yang diimpor dari luar negeri, yaitu
Inggris dan Belanda, yang mengandung timah hitam. Kementerian Liingkungan Hidup
juga menemukan dua keluarga yang anak-anaknya cacat, yang di dalam darahnya
ditemukan kadar timah hitam yang cukup tinggi dan logam lainnya. Ulah Inggris
dan Belanda yang menyertakan limbah bahan berbahaya beracun (B3) dalam
kontainer yang memuat impor besi rongsokan ke dalam Indonesia tidak menaati
Konvensi Basel yang diratifikasi sendiri oleh kedua negara tersebut guna
menjadi acuan dalam ekspor-impor. Alasan kedua negara tersebut jelas karena
mengelolah limbah di dalam negara mereka membutuhkan biaya yang jauh lebih
besar dibanding dengan mengirimnya ke negara-negara lain terutama negara
berkembang seperti Indonesia.
c. Motif
moral
Pendekatan ketiga
adalah bahwa moralitas haruslah diperkenalkan sebagai faktor di luar motif laba
atau hukum. Ada lima prinsip moral yang disarankan oleh para ahli, yaitu;
- Harm principle (prinsip bahaya), di mana bisnis seharusnya menghidari sesuatu yang dapat mendatangkan bahaya
- Fairness principle (prinsip keadilan), bahwa bisnis seharusnya adil dalam semua praktiknya.
- Human rights principle (prinsip hak asasi manusia), yaitu bisnis harus menghargai hak asasi manusia.
- Autonomy principle (prinsip otonomi), di mana bisnis seharusnya tidak melanggar pilihan orang.
- Veracity principle (prinsip kebenaran), yaitu bisnis seharusnya tidak melakukan penipuan.
Dalam
diskusi kemarin, Pak Subagio mencontohkan PT Vale sebagai sebuah perusahaan
yang mampu menjalankan program CSR tanpa adanya kewajiban untuk itu, dengan
kata lain perusahaan tersebut menjalankannya berdasarkan motif moral. Program
yang dimaksud seperti memberikan beasiswa pendidikan kepada masyarakat, dan
sebagainya.
3. Apakah
jenis perusahaan mempengaruhi jumlah biaya CSR yang harus dikeluarkan, berapa
besar persentasi dari laba yang harus digunakan untuk membiayai program CSR ?
Secara rasional,
semakin besar dampak negatif bagi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas
perusahaan, maka kontribusi terhadap pelestarian lingkungan dan pengembangan
masyarakat seharusnya lebih ditingkatkan.
Ambil contoh,
Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTB) Mountaineer milik American Electric
Power, di sungai Ohio, West Virginia yang mengisap lebih dari 450.000 Kg batu
bara per jam untuk menggerakkan tiga turbin bertenaga uap yang memasok listrik 24
jam sehari bagi 1,3 juta pelanggan di tujuh negara bagian. Pelanggan membayar
sekitar 1,2 juta per bulan, untuk mendayai lemari es, mesin cuci, mesin
pengering, televisi layar datar, dan smartphone,
serta lampu di kebanyakan rumah tangga.
Aktivitas PLTB tersebut
memuntahkan 6-7 juta ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun.
Untuk mengatasi dampak
lingkungan, kiranya Perusahaan tersebut perlu mengeluarkan sejumlah besar dana
untuk pengelolaan karbon hasil pembakaran batu bara yang digunakan sebagai
penggerak turbin.
Apabila suatu hari
kebutuhan daya meningkat sehingga diperlukan pembakaran batu bara yang lebih
banyak dari sebelumnya, maka polusi yang dihasilkan pun akan meningkat.
Meningkatnya permintaan akan daya listrik tentunya akan meningkatkan pendapatan
perusahaan, sehingga perusahaan seharusnya dapat mengeluarkan dana yang lebih
besar dari sebelumnya untuk menangani jumlah polusi karbon yang juga meningkat
akibat adanya peningkatan permintaan.
Adapun mengenai
persentasi besaran dana CSR yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan, kiranya
tergantung dari kebijakan masing-masing negara ya.
Terima kasih kunjungannya, AR
Jika ada masukan dan pertanyaan, silahkan dikomentari artikel ini !

0 komentar:
Posting Komentar