Minggu, 06 Juli 2014

Diskusi terkait Corporate Social Responsibility (CSR)



Jumat, 04 Juli 2014

Corporate social responsibility merupakan tanggung jawab perusahaan baik terhadap lingkungan maupun masyarakat di mana aktivitas operasionalnya berlangsung. Pertanyaan yang kemudian muncul dalam sesi diskusi yaitu;

1.   Tujuan perusahaan didirikan adalah untuk memperoleh keuntungan, dengan melakukan CSR, apakah tujuan itu dapat terpenuhi, bukankah pengeluaran perusahaan bertambah sehingga mengurangi laba ?

Di samping sebagai sebuah kewajiban moral, CSR menjadi kebutuhan bagi perusahaan demi kelangsungan usahanya (sustainability). Untuk melaksanakan CSR, perusahaan memang perlu mengeluarkan sejumlah dana, namun dengan menjalankan hal tersebut, aktivitas penjualan perusahaan dapat berjalan lancar, sehingga mampu meningkatkan jumlah pendapatan.

Sebagai contoh, kesadaran lingkungan masyarakat eropa membuat black campaign atas produk crude palm oil atau minyak kelapa sawit yang diimpor dari Indonesia yang dinilai tidak ramah lingkungan menjadi perhatian utama di sana. Isu-isu seperti berkurangnya luas lahan hutan akibat pembukaan lahan, hilangnya habitat satwa, hingga penyebab konflik sosial menjadi isi pokok dari kampanye tersebut. Kampanye ini intinya menyatakan bahwa proses produksi CPO di Indonesia tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan lingkungan sosial atau dengan kata lain tidak menjalankan program CSR.
Akibatnya, Uni Eropa mulai memperketat impor CPO atau minyak kelapa sawit beserta produk turunannya. Hal ini tentunya berdampak pada menurunnya volume penjualan CPO yang diproduksi oleh perusahaan di Indonesia, mengingat Eropa menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar CPO Indonesia. Pada tahun 2013, total ekspor CPO ke Eropa mencapai 4,1  juta ton, di mana jumlah tersebut merupakan 1/5 dari total ekspor CPO Indonesia di 2013 yang mencapai 21,2 juta ton. Hal ini tentunya menjadi alarm baik bagi pemerintah untuk lebih memperketat regulasi dan pengawasan mengenai kewajiban menjalankan CSR terutama bagi perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, serta bagi kalangan pengusaha untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial dalam aktivitas usahanya.

2.    Bagaimana CSR dilihat sebagai kewajiban atau sebagai bentuk kesadaran sosial ?
Corporate social responsibility sering dianggap sebagai inti dari etika bisnis, yang mana terdapat 3 motif dalam menjalankan etika dalam bisnis, yaitu;

a.    Motif laba
Dalam pasar yang kompetitif dan bebas, motif laba justru akan membawa lingkungan moral yang tepat. Hal ini berarti untuk mendapatkan laba, perusahaan dengan sendirinya perlu menjalankan prinsip etis dalam aktivitas operasionalnya.

b.    Motif hukum
Pendekatan ini menjelaskan bahwa pelaku bisnis melakukan etika bisnis karena diminta oleh hukum. Sebagai contoh adanya UU Lingkungan Hidup, perusahaan harus mengelola limbah yang dihasilkan dari aktivitas produksi dengan baik agar dampak pencemaran lingkungan dapat diminimalkan. Meskipun Indonesia telah diklaim sebagai negara pertama yang mewajibkan pelaksanaan program CSR bagi perusahaan yang beroperasi di negara ini, namun kenyataannya masih banyak perusahaan yang mengesampingkan hal tersebut atau tidak menjalankan aturan tersebut.

Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana aktivitas kawasan industri tekstil yang berada di hulu sungai citarum, yang merupakan sungai terpanjang dan terbesar di provinsi Jawa Barat, membuat sungai tersebut tercemar hingga menjadi salah satu sungai paling terpolusi di dunia menurut lembaga Blacksmith Institute, yang berbasis di New York.

Hal yang serupa terlihat di lingkungan bisnis sektor pertambangan, seperti di daerah Bengalon, Kalimantan Selatan, di mana sungai yang menjadi sumber air untuk aktivitas masyarakat menjadi tercemar oleh limbah hasil olah tambang, membuat air sungai menjadi berwarna cokelat. Masyarakat perlu menyaring terlebih dahulu air tersebut sebelum digunakan baik untuk konsumsi, mandi, dan sebagainya. Pengolahan limbah hasil industri yang tidak baik membuat lingkungan di sekitarnya, baik sungai, tanah, maupun udara menjadi tercemar dan mengancam kesehatan masyarakat di sekitarnya. Hal ini seolah luput dari perhatian pengusaha tambang tersebut.

Demikian halnya yang pernah terjadi di daerah Tegal, Jawa Tengah yang terkenal sebagai pusat kerajinan dari besi. Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), terdapat dugaan pencemaran timah hitam dari logam-logam bekas yang masuk ke Tegal. Diduga ada logam-logam bekas yang diimpor dari luar negeri, yaitu Inggris dan Belanda, yang mengandung timah hitam. Kementerian Liingkungan Hidup juga menemukan dua keluarga yang anak-anaknya cacat, yang di dalam darahnya ditemukan kadar timah hitam yang cukup tinggi dan logam lainnya. Ulah Inggris dan Belanda yang menyertakan limbah bahan berbahaya beracun (B3) dalam kontainer yang memuat impor besi rongsokan ke dalam Indonesia tidak menaati Konvensi Basel yang diratifikasi sendiri oleh kedua negara tersebut guna menjadi acuan dalam ekspor-impor. Alasan kedua negara tersebut jelas karena mengelolah limbah di dalam negara mereka membutuhkan biaya yang jauh lebih besar dibanding dengan mengirimnya ke negara-negara lain terutama negara berkembang seperti Indonesia.

c.    Motif moral
Pendekatan ketiga adalah bahwa moralitas haruslah diperkenalkan sebagai faktor di luar motif laba atau hukum. Ada lima prinsip moral yang disarankan oleh para ahli, yaitu;

  •   Harm principle (prinsip bahaya), di mana bisnis seharusnya menghidari sesuatu yang dapat mendatangkan bahaya
  • Fairness principle (prinsip keadilan), bahwa bisnis seharusnya adil dalam semua praktiknya.

  •   Human rights principle (prinsip hak asasi manusia), yaitu bisnis harus menghargai hak asasi manusia.

  •   Autonomy principle (prinsip otonomi), di mana bisnis seharusnya tidak melanggar pilihan orang.

  •   Veracity principle (prinsip kebenaran), yaitu bisnis seharusnya tidak melakukan penipuan.

Dalam diskusi kemarin, Pak Subagio mencontohkan PT Vale sebagai sebuah perusahaan yang mampu menjalankan program CSR tanpa adanya kewajiban untuk itu, dengan kata lain perusahaan tersebut menjalankannya berdasarkan motif moral. Program yang dimaksud seperti memberikan beasiswa pendidikan kepada masyarakat, dan sebagainya. 

3. Apakah jenis perusahaan mempengaruhi jumlah biaya CSR yang harus dikeluarkan, berapa besar persentasi dari laba yang harus digunakan untuk membiayai program CSR ?
Secara rasional, semakin besar dampak negatif bagi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas perusahaan, maka kontribusi terhadap pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat seharusnya lebih ditingkatkan.
Ambil contoh, Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTB) Mountaineer milik American Electric Power, di sungai Ohio, West Virginia yang mengisap lebih dari 450.000 Kg batu bara per jam untuk menggerakkan tiga turbin bertenaga uap yang memasok listrik 24 jam sehari bagi 1,3 juta pelanggan di tujuh negara bagian. Pelanggan membayar sekitar 1,2 juta per bulan, untuk mendayai lemari es, mesin cuci, mesin pengering, televisi layar datar, dan smartphone, serta lampu di kebanyakan rumah tangga.
Aktivitas PLTB tersebut memuntahkan 6-7 juta ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun.
Untuk mengatasi dampak lingkungan, kiranya Perusahaan tersebut perlu mengeluarkan sejumlah besar dana untuk pengelolaan karbon hasil pembakaran batu bara yang digunakan sebagai penggerak turbin.
Apabila suatu hari kebutuhan daya meningkat sehingga diperlukan pembakaran batu bara yang lebih banyak dari sebelumnya, maka polusi yang dihasilkan pun akan meningkat. Meningkatnya permintaan akan daya listrik tentunya akan meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga perusahaan seharusnya dapat mengeluarkan dana yang lebih besar dari sebelumnya untuk menangani jumlah polusi karbon yang juga meningkat akibat adanya peningkatan permintaan.

Adapun mengenai persentasi besaran dana CSR yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan, kiranya tergantung dari kebijakan masing-masing negara ya.

Terima kasih kunjungannya, AR
Jika ada masukan dan pertanyaan, silahkan dikomentari artikel ini !