Sabtu, 31 Mei 2014

Etika di Mata Pak Deng Siraja (1) - Sebuah Ulasan

Rabu sore (28 Mei 2014), Pak Deng Siraja memberi kuliah mengenai Etika. Beliau merujuk pada buku karangan Duska. Satu pernyataan dari buku tersebut yang pertama disinggung mengenai “capitalism is corruption”, atau apakah kapitalisme itu sebuah bentuk korupsi ? Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan yang sering terdengar terutama dikalangan mahasiswa aktivis bahwa kapitalisme adalah sebuah model penghisapan atas buruh yang dipekerjakan. Mengapa demikian ?

Karl Marx (Rival utama kaum kapitalis) menjawab pertanyaan tersebut melalui teori nilai lebih yang ia gagas. Menurut Marx, satu-satunya sumber keuntungan si kapitalis (pemilik modal) adalah pekerjaan buruh. Pekerjaan mesin-mesin tidak memberikan keuntungan karena investasi atau pembelian barang modal berupa peralatan atau mesin membutuhkan dana yang besar dan penggunaan alat tersebut sejogyanya hanya untuk mengembalikan dana investasi atas pembelian alat tersebut. Jadi pertambahan modal konstan (mesin-mesin) tidak menambah laba. Maka meskipun jumlah laba absolut barangkali bertambah, tetapi persentase laba atas modal yang dipakai (capital expenditure) terus berkurang. Itu adalah salah satu “hukum ekonomi kapitalis” Marx. Dalam teori Marx, hukum ini penting. Mengapa ? karena berkurangnya persentase laba hanya dapat diimbangi dengan satu cara, dengan meningkatkan nilai lebih. Nilai lebih merupakan nilai yang diciptakan oleh buruh terhadap hasil produksi yang tidak diupah, dengan kata lain inilah keuntungan yang dinikmati oleh pemilik modal. Misalnya, seorang buruh yang bekerja delapan jam sehari menghasilkan produksi senilai Rp 20.000. Dengan tenaga kerja buruh itu, sang pemilik modal mendapatkan nilai total Rp 20.000. Padahal upah  yang diterima si buruh hanyalah Rp 10.000. Untuk menghasilkan nilai produksi yang seimbang dengan upah yang ia terima, buruh tersebut hanya perlu bekerja empat jam sehari. Namun, karena telah menjual seluruh tenaga kerjanya kepada pemilik modal, ia harus menghabiskan seluruhnya, yaitu bekerja delapan jam sehari. Pekerjaan empat jam melebihi apa yang seharusnya buruh itu kerjakan untuk memperoleh upah yang setimpal itulah yang disebut nilai lebih.

Jadi dengan meningkatkan eksploitasi atas buruh. Misalnya, awalnya buruh bekerja empat jam untuk upahnya dan selama empat jam lagi menghasilkan nilai lebih, maka dengan kenaikan produktivitas ia hanya perlu bekerja empat jam untuk upahnya dan selama enam jam menghasilkan nilai lebih. Jadi penghisapan tenaga kerja bertambah terus. 

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana melakukan penilaian moral, Sebagai contoh apakah kaum kapitalis (pemilik modal itu) bermoral, dimana di satu sisi sistem kapitalisme mengeksploitasi kaum buruh, di lain hal menghidupi mereka melalui upah yang dibayarkan meskipun tidak sebanding dengan tenaga yang telah mereka keluarkan ?

Pak Deng Siraja menyatakan bahwa moral itu bersifat relatif. Pandangan atas penyimpangan moral atau kejahatan pun bersifat relatif. Apa yang menurut seseorang itu etis belum tentu demikian di mata orang lain. Hal ini sejalan dengan ungkapan seorang Sufi atau ahli tasawuf, yaitu Rumi, dalam salah satu bait yang ia tulis, bahwa:

Karena itu tidak ada kejahatan yang absolut di dunia ini: Kejahatan selalu relatif.
Racun ular adalah kehidupan bagi ular, (tetapi) itu kematian bagi manusia.
Laut adalah taman bagi makhluk air, sedang bagi makhluk daratan itu adalah kematian dan siksaan.

Dalam kondisi nyata  sekarang ini, ungkapan di atas dapat kita lihat wujudnya di tempat lokalisasi. 

Lokalisasi Tempat Hiburan Malam merupakan ladang hidup bagi PSK, Germo, namun bagi sebagian masyarakat umum merupakan ladang penyakit kelamin mulai dari HIV, AIDS, dan penyakit sosial.


Mengapa Perlu Etika ?

Pak Deng Siraja selanjutnya memaparkan beberapa poin mengenai pentingnya beretika. Namun di sini kiranya perlu kita bedakan terlebih dahulu perbedaan mendasar antara etika dan moral sehingga tidak menimbulkan kerancuan. Franz Magnis Suseno, menjelaskan bahwa ajaran moral itu meliputi ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia  yang baik. Sumber langsung ajaran moral bagi kita adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama. Sedangkan Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Jadi, yang dijelaskan oleh Pak Deng Siraja lebih mengenai moralitas.

Selanjutnya, Pak Deng Siraja membahas mengenai Ethical Dilemma, yang merupakan akibat dari sifat moralitas yang relatif atau subjektif karena tergantung pada keyakinan dan nilai yang dianut oleh masing-masing individu atau masyarakat. 

Contoh Ethical Dilemma di Indonesia bisa kita lihat pada saat Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966. Pak Ali Sadikin dinilai bertanggungjawab atas kekaburan moral yang terjadi saat itu. 

Pada tahun 1966, Ali sadikin menghadapi persoalan serius. Sebuah Jakarta yang bobrok. Sarana lalu lintas amat minim dan buruk. Jalanan berlubang di semua pelosok kota. Pemukiman kumuh terlihat mencolok, gang-gang becek dan kotor. Belum lagi tekanan krisis ekonomi. Dengan laju inflasi yang mencapai angka 650%. Di samping itu ada 24.700 pegawai di DKI yang harus dihidupi. Jakarta yang dihuni 3,4 juta manusia hanya memiliki anggaran pendapatan dan belanja daerah sebesar Rp 66 juta yang terdiri dari subsidi  pusat Rp 44 juta atau 66% dan pendapatan asli daerah sebesar Rp 22 juta atau 34%. Kondisi keuangan ini tidak mencukupi untuk membangun jakarta menjadi sebuah kota yang pantas menyandang predikat ibu kota negara. Apalagi ada batasan bahwa pemerintah daerah tidak diperkenankan mencari fasilitas pinjaman.

Ali Sadikin pun berusaha mencari dana. Ia mengetahui bahwa jakarta merupakan kawasan perjudian ilegal dan pelacuran yang pada waktu itu dilindungi oleh oknum pejabat, terutama dari angkatan tertentu. Mereka (penyelenggara dan pelindungnya) menikmati hasil judi ilegal tersebut tanpa membayar pajak
Ali sadikin melokalisasi perjudian seperti di Jakarta theatre, Copacobana, dan Petak IX. Para PSK dilokalisasi di Kramat Tunggak yang kini telah ditutup. Ali berpendapat bahwa lokalisasi diperlukan untuk membersihkan pelacur dari jalanan ibu kota dan mempermudah pengawasan kesehatan mereka.Bar, panti pijat, nalo dan toto (kupon judi untuk masyarakat umum) juga diresmikan.

Berkat pajak judi, pelacuran, panti pijat, nalo dan toto, Ali mampu meningkatkan pendapatan pemda dari Rp 66 juta per tahun menjaddi Rp 122 miliar per tahun Dengan kekayaan tersebut, Sang Gubernur mempercantik ibukota dengan membangun Taman Impian Jaya Ancol, Monas, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Fair, Proyek Senen, Sekolah olahraga ragunan. Ali juga mendirikan halte bus dan jalanan ibu kota., serta sejumlah proyek lain.

Bila dinilai dengan pertimbangan ekonomi, kebijakan yang dilakukan Ali memang menguntungkan dan membawa “kebaikan” bagi Jakarta. Faktanya waktu itu banyak yang memuji Ali Sadikin.

Namun Ali Sadikin juga bertanggungjawab atas kekaburan pandangan masyarakat tentang kebaikan dan keburukan, halal dan haram, kejujuran dan kecurangan, ketabahan dan keputusasaan, kreativitas dan ketumpulan berpikir, serta menyebabkan semua pasangan nilai positif dan negatif menjadi relatif. 

Perempuan-perempuan desa yang semula ayu berbondong-bondong ke jakarta untuk menjadi pelacur. Rakyat begitu bergairah bekerja di tempat perjudian, menjadi preman, atau menjadi pengedar narkotika. Mula-mula mereka mungkin masih gamang karena takut berdosa. Namun karena terbiasa berada di lingkungan kemaksiatan, mereka pun berpikir bahwa kemaksiatan yan dilakukan oleh banyak orang, bukan lagi suatu kemaksiatan. Berdasarkan logika sosiolog Thomas Luckman dan Peter L Berger, suatu penyimpangan atau perbuatan yang semula hanya dilakukan oleh sedikit orang bila kemudian dikerjakan pula oleh banyak orang, maka hal itu menjadi  kebiasaan atau habitus.

Menurut Priono B. Sumbogo, fenomena perubahan penyimpangan menjadi kebiasaan, kini juga melata di banyak lini aktivitas masyarakat Indonesia, khususnya di bidang politik dan bisnis. Berpolitik berarti harus curang, banyak uang, punya tukang pukul, dan menjilat. Agar dapat menjadi wakil rakyat harus bekerjasama dengan pengusaha, sekalipun pengusaha tersebut adalah bandar judi, bandar narkotika, atau mucikari kelas kakap. Berbisnis berarti harus menyuap wakil rakyat dan pejabat pemerintah. Ringkasnya semua menjadi pelacur dan nilai negaftif pelacuran menjadi relatif. 

Lebih lanjut Priono B. Sumbogo mengemukakan bahwa sebagai akibat dari semua kekaburan nilai positif dan negatif itulah, aktivitas bisnis, aktivitas politik, dan aktivitas kenegaraan, serta berbagai aktivitas kemasyarakatan di Indonesia , tidak sanggup membuat bangsa Indonesia berjaya dan terhormat di muka bumi.