Rabu sore (28 Mei 2014), Pak Deng
Siraja memberi kuliah mengenai Etika. Beliau merujuk pada buku karangan Duska.
Satu pernyataan dari buku tersebut yang pertama disinggung mengenai “capitalism is corruption”, atau apakah
kapitalisme itu sebuah bentuk korupsi ? Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan
yang sering terdengar terutama dikalangan mahasiswa aktivis bahwa kapitalisme adalah
sebuah model penghisapan atas buruh yang dipekerjakan. Mengapa demikian ?
Karl Marx (Rival utama kaum
kapitalis) menjawab pertanyaan tersebut melalui teori nilai lebih yang ia gagas.
Menurut Marx, satu-satunya sumber keuntungan si kapitalis (pemilik modal) adalah
pekerjaan buruh. Pekerjaan mesin-mesin tidak memberikan keuntungan karena investasi
atau pembelian barang modal berupa peralatan atau mesin membutuhkan dana yang
besar dan penggunaan alat tersebut sejogyanya hanya untuk mengembalikan dana
investasi atas pembelian alat tersebut. Jadi pertambahan modal konstan (mesin-mesin)
tidak menambah laba. Maka meskipun jumlah laba absolut barangkali bertambah,
tetapi persentase laba atas modal yang dipakai (capital expenditure) terus berkurang. Itu adalah salah satu “hukum
ekonomi kapitalis” Marx. Dalam teori Marx, hukum ini penting. Mengapa ? karena
berkurangnya persentase laba hanya dapat diimbangi dengan satu cara, dengan
meningkatkan nilai lebih. Nilai lebih merupakan nilai yang diciptakan oleh buruh
terhadap hasil produksi yang tidak diupah, dengan kata lain inilah keuntungan
yang dinikmati oleh pemilik modal. Misalnya, seorang buruh yang bekerja delapan
jam sehari menghasilkan produksi senilai Rp 20.000. Dengan tenaga kerja buruh
itu, sang pemilik modal mendapatkan nilai total Rp 20.000. Padahal upah yang diterima si buruh hanyalah Rp 10.000.
Untuk menghasilkan nilai produksi yang seimbang dengan upah yang ia terima,
buruh tersebut hanya perlu bekerja empat jam sehari. Namun, karena telah
menjual seluruh tenaga kerjanya kepada pemilik modal, ia harus menghabiskan
seluruhnya, yaitu bekerja delapan jam sehari. Pekerjaan empat jam melebihi apa
yang seharusnya buruh itu kerjakan untuk memperoleh upah yang setimpal itulah yang
disebut nilai lebih.
Jadi dengan meningkatkan eksploitasi atas
buruh. Misalnya, awalnya buruh bekerja empat jam untuk upahnya dan selama empat
jam lagi menghasilkan nilai lebih, maka dengan kenaikan produktivitas ia hanya
perlu bekerja empat jam untuk upahnya dan selama enam jam menghasilkan nilai
lebih. Jadi penghisapan tenaga kerja bertambah terus.
Selanjutnya muncul pertanyaan,
bagaimana melakukan penilaian moral, Sebagai contoh apakah kaum kapitalis (pemilik
modal itu) bermoral, dimana di satu sisi sistem kapitalisme mengeksploitasi
kaum buruh, di lain hal menghidupi mereka melalui upah yang dibayarkan meskipun
tidak sebanding dengan tenaga yang telah mereka keluarkan ?
Pak Deng Siraja menyatakan bahwa moral
itu bersifat relatif. Pandangan atas penyimpangan moral atau kejahatan pun
bersifat relatif. Apa yang menurut seseorang itu etis belum tentu demikian di
mata orang lain. Hal ini sejalan dengan ungkapan seorang Sufi atau ahli
tasawuf, yaitu Rumi, dalam salah satu bait yang ia tulis, bahwa:
Karena itu tidak ada kejahatan yang absolut di dunia ini: Kejahatan selalu relatif.Racun ular adalah kehidupan bagi ular, (tetapi) itu kematian bagi manusia.Laut adalah taman bagi makhluk air, sedang bagi makhluk daratan itu adalah kematian dan siksaan.
Dalam kondisi
nyata sekarang ini, ungkapan di atas
dapat kita lihat wujudnya di tempat lokalisasi.
Lokalisasi Tempat Hiburan Malam merupakan
ladang hidup bagi PSK, Germo, namun bagi sebagian masyarakat umum merupakan
ladang penyakit kelamin mulai dari HIV, AIDS, dan penyakit sosial.
Mengapa Perlu Etika ?
Pak Deng Siraja selanjutnya
memaparkan beberapa poin mengenai pentingnya beretika. Namun di sini kiranya perlu
kita bedakan terlebih dahulu perbedaan mendasar antara etika dan moral sehingga
tidak menimbulkan kerancuan. Franz Magnis Suseno, menjelaskan bahwa ajaran
moral itu meliputi ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis,
tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral bagi
kita adalah berbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua
dan guru, para pemuka masyarakat dan agama. Sedangkan Etika bukan sumber tambahan
bagi ajaran moral, melainkan pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan
sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang
sama. Yang mengatakan bagaimana kita harus hidup, bukan etika melainkan ajaran
moral. Etika mau mengerti mengapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu,
atau bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral. Jadi, yang dijelaskan oleh Pak Deng Siraja lebih
mengenai moralitas.
Selanjutnya, Pak Deng Siraja
membahas mengenai Ethical Dilemma,
yang merupakan akibat dari sifat moralitas yang relatif atau subjektif karena
tergantung pada keyakinan dan nilai yang dianut oleh masing-masing individu
atau masyarakat.
Contoh Ethical Dilemma di Indonesia bisa kita lihat pada saat Ali Sadikin
menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 1966. Pak Ali Sadikin dinilai
bertanggungjawab atas kekaburan moral yang terjadi saat itu.
Pada tahun 1966, Ali sadikin
menghadapi persoalan serius. Sebuah Jakarta yang bobrok. Sarana lalu lintas
amat minim dan buruk. Jalanan berlubang di semua pelosok kota. Pemukiman kumuh
terlihat mencolok, gang-gang becek dan kotor. Belum lagi tekanan krisis
ekonomi. Dengan laju inflasi yang mencapai angka 650%. Di samping itu ada
24.700 pegawai di DKI yang harus dihidupi. Jakarta yang dihuni 3,4 juta manusia
hanya memiliki anggaran pendapatan dan belanja daerah sebesar Rp 66 juta yang
terdiri dari subsidi pusat Rp 44 juta
atau 66% dan pendapatan asli daerah sebesar Rp 22 juta atau 34%. Kondisi
keuangan ini tidak mencukupi untuk membangun jakarta menjadi sebuah kota yang
pantas menyandang predikat ibu kota negara. Apalagi ada batasan bahwa
pemerintah daerah tidak diperkenankan mencari fasilitas pinjaman.
Ali Sadikin pun berusaha mencari
dana. Ia mengetahui bahwa jakarta merupakan kawasan perjudian ilegal dan
pelacuran yang pada waktu itu dilindungi oleh oknum pejabat, terutama dari
angkatan tertentu. Mereka (penyelenggara dan pelindungnya) menikmati hasil judi
ilegal tersebut tanpa membayar pajak
Ali sadikin melokalisasi
perjudian seperti di Jakarta theatre, Copacobana, dan Petak IX. Para PSK
dilokalisasi di Kramat Tunggak yang kini telah ditutup. Ali berpendapat bahwa
lokalisasi diperlukan untuk membersihkan pelacur dari jalanan ibu kota dan
mempermudah pengawasan kesehatan mereka.Bar, panti pijat, nalo dan toto (kupon
judi untuk masyarakat umum) juga diresmikan.
Berkat pajak judi, pelacuran,
panti pijat, nalo dan toto, Ali mampu meningkatkan pendapatan pemda dari Rp 66
juta per tahun menjaddi Rp 122 miliar per tahun Dengan kekayaan tersebut, Sang
Gubernur mempercantik ibukota dengan membangun Taman Impian Jaya Ancol, Monas,
Taman Ismail Marzuki, Jakarta Fair, Proyek Senen, Sekolah olahraga ragunan. Ali
juga mendirikan halte bus dan jalanan ibu kota., serta sejumlah proyek lain.
Bila dinilai dengan pertimbangan
ekonomi, kebijakan yang dilakukan Ali memang menguntungkan dan membawa
“kebaikan” bagi Jakarta. Faktanya waktu itu banyak yang memuji Ali Sadikin.
Namun Ali Sadikin juga
bertanggungjawab atas kekaburan pandangan masyarakat tentang kebaikan dan
keburukan, halal dan haram, kejujuran dan kecurangan, ketabahan dan keputusasaan,
kreativitas dan ketumpulan berpikir, serta menyebabkan semua pasangan nilai
positif dan negatif menjadi relatif.
Perempuan-perempuan desa yang
semula ayu berbondong-bondong ke jakarta untuk menjadi pelacur. Rakyat begitu
bergairah bekerja di tempat perjudian, menjadi preman, atau menjadi pengedar
narkotika. Mula-mula mereka mungkin masih gamang karena takut berdosa. Namun
karena terbiasa berada di lingkungan kemaksiatan, mereka pun berpikir bahwa
kemaksiatan yan dilakukan oleh banyak orang, bukan lagi suatu kemaksiatan. Berdasarkan
logika sosiolog Thomas Luckman dan Peter L Berger, suatu penyimpangan atau
perbuatan yang semula hanya dilakukan oleh sedikit orang bila kemudian
dikerjakan pula oleh banyak orang, maka hal itu menjadi kebiasaan atau habitus.
Menurut Priono B. Sumbogo, fenomena
perubahan penyimpangan menjadi kebiasaan, kini juga melata di banyak lini
aktivitas masyarakat Indonesia, khususnya di bidang politik dan bisnis.
Berpolitik berarti harus curang, banyak uang, punya tukang pukul, dan menjilat.
Agar dapat menjadi wakil rakyat harus bekerjasama dengan pengusaha, sekalipun
pengusaha tersebut adalah bandar judi, bandar narkotika, atau mucikari kelas
kakap. Berbisnis berarti harus menyuap wakil rakyat dan pejabat pemerintah.
Ringkasnya semua menjadi pelacur dan nilai negaftif pelacuran menjadi relatif.
Lebih lanjut Priono B. Sumbogo
mengemukakan bahwa sebagai akibat dari semua kekaburan nilai positif dan
negatif itulah, aktivitas bisnis, aktivitas politik, dan aktivitas kenegaraan,
serta berbagai aktivitas kemasyarakatan di Indonesia , tidak sanggup membuat
bangsa Indonesia berjaya dan terhormat di muka bumi.
